arsip fiqh
Jenis-jenis kekayaan yang disebutkan dan diperingatkan Alquran untuk dikeluarkan zakatnya adalah sebagai berikut.
- Emas dan Perak
- Tanaman dan Buah-buahan
- Usaha, seperti Usaha Dagang, dan Lain-Lain
- Barang-Barang Tambang yang Dikelurkan dari Perut Bumi
Selain dari yang disebutkan itu, Alquran hanya merumuskan apa yang wajib dizakati itu dengan rumusan yang sangat umum, yaitu dengan kata-kata “kekayaan”, seperti firman-Nya: “Ambillah olehmu zakat dari kekayaan mereka, engkau bersihkan dan engkau sucikan mereka dengannya.” (At-Taubah: 103). Dan firman Allah SWT, “Di dalam kekayaan mereka terdapat hak peminta-peminta dan orang yang melarat.” (Adz-Dzariyat: 19).
Apa sebenarnya yang dimaksudkan Alquran dan hadis dengan kekayaan itu? Kekayaan itu merupakan terjemahan dari bahasa Arab amwaal. Ia merupakan bentuk jamak dari kata maal. Menurut orang Arab yang dengan bahasanya Alquran itu diturunkan, kekayaan adalah segala sesuatu yang diinginkan manusia untuk disimpan dan dimilikinya. Dengan demikian, unta, sapi, kambing, tanah, kelapa, emas, dan perak adalah kekayaan. Oleh karena itu, ensiklopedi-ensiklopedi di Arab, mislanya al-Qamus al-Muhith dan Lisanul Arab, mengatakan bahwa kekayaan adalah segala sesuatu yang dimiliki. Namun, orang-orang desa sering menghubungkannya dengan ternak, dan orang-orang kota sering menghubungkannya dengan emas dan perak (uang). Akan tetapi, semuanya adalah kekayaan. Adapun menurut ulama fikih, mereka berselisih mengenai arti dari kekayaan itu. Namun demikian, dari perbedaan pendapat itu yang kita pegang dalam masalah wajib zakat ini adalah sesuatu yang berwujud, dan itulah yang terkena kewajiban zakat.
Syarat-Syarat Kekayaan yang Wajib Dizakati
- Milik Penuh
Mengenai kekayaan yang bersumber dari barang yang haram, para ulama berpendapat bahwa seandainya suatu kekayaan yang kotor itu sampai senishab, zakat tidaklah wajib atas kekayaan itu. Karena, kekayaan itu harus dibebaskan dari tugasnya dengan mengembalikannya kepada yang berhak atau kepada ahli warisnya bila diketahui, tetapi bila tidak diketahui, diberikan kepada fakir miskin. Dalam hal ini, seluruh kekayaan itu harus disedekahkan, tidak sebagiannya saja. Rasullullah saw. bersabda mengenai hal ini: “Allah tidak akan menerima sedekah dari kekayaan ghulul.” Ghulul adalah kekayaan yang diperoleh secara tidak sah dari kekayaan umum, seperti rampasan perang (ghanimah), dan lain-lain. Para ulama juga berpendapat bahwa menyedekahkan sesuatu yang haram tidaklah diterima, karena yang disedekahkan itu bukanlah milik orang yang menyedekahkannya, dan orang itu tidak sah melakukan sesuatu atas barang tersebut.
- Berkembang
“Seorang muslim tidak wajib mengeluarkan zakat dari kuda atau budaknya.” (HR Muslim).
- Sudah Sampai Satu Nisab
Hikmah adanya penentuan syarat ini adalah bahwa zakat merupakan pajak yang dikenakan (Allah dan Rasul-Nya) atas orang kaya untuk bantuan kepada orang miskin dan untuk berpartisipasi bagi kesejahteraan Islam dan kaum muslimin. Oleh karena itu, zakat harus dipetik dari kekayaan yang mampu memikul kewajiban itu dan menjadi tidak ada artinya apabila orang miskin juga dikenakan pajak (zakat), sementara ia sangat memerlukan bantuan, bukan membantu. Sehingga, dari sini Nabi saw. bersabda, “Zakat hanya dibebankan ke atas pundak orang kaya.” (HR Bukhari secara mua’llaq dan Ahmad secara maushul).
- Lebih dari Kebutuhan (Pokok)
- Bebas dari Hutang
Jumhurul ulama berpendapat bahwa hutang merupakan penghalang wajib zakat, atau paling tidak mengurangi ketentuan wajibnya, dalam kasus kekayaan tersimpan seperti uang dan harta perniagaan. Demikian juga pendapat Atha’, Sulaiman bin Yasar, Hasan, Nakha’i, Laits, Malik, Tsauri, Auza’i, Ahmad , Ishaq, Abu Tsaur, Abu Hanifah, dan kawan-kawannya. Hanya Rabi’ah, Hamad bin Sulaiman, dan Syafi’i dalam fatwa barunya menentangnya.
Tetapi, mengenai kekayaan yang kelihatan, seperti ternak dan hasil pertanian, sebagian ahli fikih berpendapat bahwa hutang tidaklah menghalangi kekayaan yang wajib dizakati itu. Mereka membedakan kekayaan yang kelihatan dari kekayaan yang tidak kelihatan (tersimpan). Sebab, hubungan zakat lebih kuat kepada kekayaan yang kelihatan, karena lebih nyata dan lebih menggugah perasaan orang-orang miskin. Sebab itulah, datang ketentuan untuk mengirim petugas-petugas guna mengambil zakat kekayaan seperti itu dari pemiliknya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para sahabat.
- Berlalu Setahun
Dari Ibnu Umar r.a., Nabi saw. bersabda, “Tidak ada zakat atas kekayaan sehingga berlalu satu tahun.” (HR Daruquthny dan Baihaqi). (Biko).
***
Referensi:
- Fiqhuz Zakah, Dr. Yusuf Qaradhawi
- Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq
0 komentar
Posting Komentar