بسم الله الرحمن الرحيم
Bagi
seorang hamba yang shalih dan taat serta memahami alqur’an,
hadits-hadits shahih serta penjelasan para ulama salafush shalih yang
berjalan di atas manhaj nabi Shallallahu alaihi wa sallam, niscaya ia
mengerti dan tidak ragu sedikitpun bahwa Allah ta’ala dan Rosulullah
Shallallahu alaihi wa sallam menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki
kesulitan sama sekali bagi mereka. Pembuat syariat ini telah
membolehkan beberapa hal bagi orang yang sedang menjalankan ibadah puasa
dan memaafkannya jika melakukan sesuatu hal lantaran kesulitan yang
menimpanya. Beberapa hal yang dimudahkan dan dibolehkan bagi orang yang
berpuasa, di antaranya yaitu,1). Gosok gigi di siang hari ketika puasa.
Bersiwak
atau gosok gigi adalah merupakan salah satu dari sunah Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam yang banyak diabaikan oleh kebanyakan umatnya. Padahal
di dalam siwak ini terdapat banyak faidah dan kebaikan. Oleh sebab itu
Beliau sangat menganjurkannya, bahkan ketika sedang berpuasa.
عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى
الله عليه و سلم: لَوْ لاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتىِ لَأَمَرْتُهُمْ
عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ بِوُضُوْءٍ أَوْ مَعَ كُلِّ وُضُوْءٍ سِوَاكٌ وَ
لَأَخَّرْتُ عِشَاءَ اْلآخِرَةِ إِلىَ ثُلُثِ اللَّيْلِ
Dari
Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah
Shallallahu alaihi wa sallam, “Andaikan aku tidak menyusahkan umatku
niscaya aku perintahkan mereka berwudlu setiap kali sholat, bersiwak
setiap kali wudlu dan menangguhkan sholat isya terakhir hingga mencapai
sepertiga malam”. [HR Ahmad: II/ 259. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [1]
Berkata asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam rahimahullah, ”Terdapat penganjuran bersiwak dan keutamaan di dalamnya. Yang telah mencapai derajat wajib di dalam pahala (ganjaran)”. [2]
عن عبد الله بن عباس قَالَ: بِتُّ لَيْلَةً عِنْدَ النَّبِيِّ صلى
الله عليه و سلم فَلَمَّا اسْتَيْقَظَ مِنْ مَنَامِهِ أَتَى طَهُوْرَهُ
فَأَخَذَ سِوَاكَهُ فَاسْتَاكَ ثُمَّ تَلاَ هَذِهِ اْلآيَاتِ ((إِنَّ فِى
خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَ اْلأَرْضِ وَ اخْتَلَافِ اللَّيْلِ وَ النَّهَارِ
لَأَيَاتٍ لِّأُولِى اْلأَلْبَابِ)) حَتىَّ قَارَبَ أَنْ يَخْتِمَ
السُّوْرَةَ أَوْ خَتَمَهَا ثُمَّ تَوَضَّأَ فَأَتَى مُصَلاَّهُ فَصَلَّى
رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَجَعَ إِلىَ فِرَاشِهِ فَنَامَمَا
شَاءَ اللهُ ثُمَّ اسْتَيْقَظَ فَفَعَلَ مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ رَجَعَ إِلىَ
فِرَاشِهِ فَنَامَ ثُمَّ اسْتَيْقَظَ فَفَعَلَ مِثْلَ ذَلِكَ كُلُّ ذَلِكَ
يَسْتَاكُ وَ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَوْتَرَ
Dari Abdullah bin Abbas radliyallahu anhuma berkata,
“aku pernah bermalam suatu malam di sisi Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam, ketika Beliau terbangun dari tidurnya, Beliau mendatangi air
wudlunya lalu mengambil siwaknya dan bersiwak kemudian membaca ayat ini
((Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi serta perselisihan
siang dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang yang memiliki pikiran. Q.S.
Ali Imran/3: 190)) sehingga mendekati selesainya surat atau bahkan
sampai selesai. Lalu Beliau berwudlu kemudian mendatangi tempat
sholatnya lalu sholat dua rakaat. Kemudian Beliau kembali ke tempat
tidurnya lalu tidur apa yang dikehendaki oleh Allah. Kemudian bangun
kembali lalu berbuat seperti itu lagi kemudian kembali ke tempat
tidurnya lalu tidur. Kemudian bangun kembali lalu berbuat seperti itu
lagi, semuanya itu bersiwak dan sholat dua rakaat kemudian sholat
witir”. [Telah mengeluarkan hadits ini Abu Dawud: 58 dan Muslim: 256.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [3]
عن عائشة رضي الله عنها قَالَتْ: كُنَّا نُعِدُّ لِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم
سِوَاكَهُ وَ طَهُوْرَهُ فَيَبْعَثُهُ اللهُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ
يَبْعَثَهُ مِنَ اللَّيْلِ فَيَتَسَوَّكُ وَ يَتَوَضَّأُ وَ يُصَلِّي
تِسْعَ رَكَعَاتٍ لاَ يَجْلِسُ فِيْهَا إِلاَّ فىِ الثَّامِنَةِ
Dari
Aisyah radliyallahu anha berkata, “kami yang selalu mempersiapkan untuk
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam siwak dan air wudlunya. Lalu
Allah Subhanahu wa ta’ala membangunkannya apa yang Allah hendak
membangunkannya pada waktu malam. Lalu Beliau bersiwak, wudlu dan sholat
sembilan rakaat, tidak duduk padanya kecuali pada rakaat ke delapan”.
[HR Muslim: 746]. [4]
Berkata asy-Syaikh Sallim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Adanya penganjuran bersiwak sebelum wudlu, sebelum sholat dan ketika bangun dari tidur”. [5]
عن عائشة عَنِ النَّبِيِّصلى الله عليه و سلمقَالَ: السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ
Dari Aisyah radliyallahu anha dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “siwak itu pembersih bagi mulut dan diridloi oleh Rabb”. [HR
an-Nasa’iy: I/ 10, Ahmad: VI/ 47, 62, 124, 238, ad-Darimiy: I/174 dan
Ibnu Khuzaimah: 135. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih ]. [6]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,
“Bersiwak adalah penyebab mendapatkan ridlo Rabb Azza wa Jalla. Siwak
adalah alat untuk membersihkan mulut. Allah Subhanahu wa ta’ala menyukai
kebersihan dan mencintai orang-orang yang suka membersihkan diri, oleh
karena itulah Allah telah mensyariatkan sesuatu untuk mereka yang dapat
membantu mereka untuk mendapatkan ridlo-Nya”. [7]
Catatan: Bolehkah menggunakan pasta gigi?
Asy-Syaikh
Ibn Baz rahimahullah pernah ditanya tentang hukum menggunakan pasta
gigi. Beliau menjawab, “Tidak masalah, selama dijaga agar tidak tertelan
sedikitpun.” [Fatwa asy-Syaikh Ibn Baz: IV/247].
2. Keramas untuk mendinginkan badan.
Dari sebahagian shahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berkata,
لَقَدْ
رَاَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِاْلعَرَجِ يَصُبُّ عَلَى
رَأْسِهِ اْلمـَاءَ وَ هُوَ صَائِمٌ مِنَ اْلعَطَشِ أَوْ مِنَ اْلحَرِّ
Sungguh-sungguh aku pernah melihat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam
di al-Araj menyiramkan air ke atas kepalanya padahal Beliau sedang
puasa, karena kehausan atau udara panas. [HR. Abu Dawud: 2365 dan Ahmad:
V/ 376. 380, 408, 430. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih,
sebagaimana di dalam Shahih Sunan Abu Dawud: 2072].
و بَلَّ ابْنُ عُمَرَ رضى الله عنهما ثَوْبًا فَأَلْقَى عَلَيْهِ وَهُوَ صَائِمٌ
Ibnu Umar radliyallahu anhuma
pernah membasahi pakaiannya dan beliau letakkan di atas kepalanya
ketika sedang puasa. [Atsar riwayat al-Bukhoriy: IV/ 153 secara muallaq].
Begitu pula, asy-Sya’biy pernah masuk ke dalam kamar mandi (untuk mandi) sedangkan ia dalam keadaan berpuasa.
Semakna dengan hadis ini adalah orang yang berenang atau berendam di air ketika sedang berpuasa.
3. Bercelak dan menggunakan obat tetes mata.
Semua
hal tersebut tidaklah membatalkan puasa, baik barang-barang tersebut
terasa olehnya ataupun tidak. Itu pula yang di-tarjih oleh Syaikh
al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah di dalam risalahnya yang berjudul
“Haqiqah ash-Shiyam”. Begitu pula muridnya, al-Imam Ibu Qoyyim
al-Jauziyah rahimahullah di dalam kitabnya, “Zad al-Ma’ad”.
Dari Aisyah radliyallahu anha berkata,
اكْتَحَلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَ هُوَ صَائِمٌ
“Rosulullah
Shallallahu alaihi wa sallam pernah bercelak sedangkan ketika itu
Beliau dalam keadaan berpuasa”. [HR Ibnu Majah: 1678. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Shahih]. [8]
Al-Imam al-Bukhoriy membawakan di dalam shahihnya,
ولم ير أنس والحسن وإبراهيم بالكحل للصائم بأساً
Anas
bin Malik, Hasan Al-Bashriy, dan Ibrahim (an-Nakho’iy) berpendapat
bolehnya menggunakan celak. [Shahih al-Bukhoriy: IV/ 153 dan Abu Dawud:
2379. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [9]
Dari
Anas bin Malik radliyallahu anhu, “Bahwasanya ia pernah bercelak dalam
keadaan berpuasa”. [Atsar riwayat Abu Dawud: 2378. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Hasan Mauquf]. [10]
Pernah
ditanyakan kepada asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, “Bagaimana
pendapatmu tentang orang yang mengatakan bahwa celak dan obat tetes mata
itu tidak membatalkan puasa, baik seseorang itu mendapati rasanya di
tenggorokan ataupun tidak?”.
Beliau
menjawab, “Sayapun berpendapat demikian. Akan tetapi, jika orang itu
mendapati rasanya di tenggorokan, hendaklah ia segera mengeluarkannya
(meludahkannya). Tidak boleh baginya menelan cairan tersebut”.
Beliau ditanya lagi, “Apakah puasanya itu batal jika ia menelannya?”. Maka Beliau menjawab, “Ya”. [11]
4. Suntikan selain infus.
Terkadang
sering dijumpai, ada seseorang yang membutuhkan bantuan kesehatan untuk
pengobatan dengan segera. Lalu bantuan pengobatan tersebut dalam bentuk
menyuntikkan obat ke dalam tubuh pasiennya, apakah suntikan itu di
lengan, paha dan selainnya. Maka perbuatan tersebut dibolehkan, karena
suntikan itu bukan makanan atau minuman yang membatalkan, namun hanya
obat yang ia butuhkan.
Karena
pada asalnya, suatu perbuatan itu tidak membatalkan puasa kecuali jika
ada dalilnya. Dan tidak diketahui adanya dalil tentang menggunakan
suntikan. Maka barangsiapa melarang atau membencinya maka wajib
mendatangkan dalil. Karena haram dan makruh adalah hukum syariat yang
tidak bisa ditetapkan kecuali berdasarkan dalil. Allahu A’lam
Berkata
asy-Syaikh Muhammad bi Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Suntikan yang
digunakan untuk pengobatan itu ada dua jenis. Yang pertama, yang dipakai
untuk mengkonsumsi makanan dan sebagai ganti dari makanan dan minuman.
Suntikan yang berfungsi sebagai ganti dari makan dan minum dihukumi
dalam penggunaannya sebagai makan dan minum. Yang seperti ini
membatalkan puasa. Karena dalam nash syar’iy, apabila didapati satu
makna yang dikandung oleh nash tersebut dalam satu masalah, maka akan
dihukumi masalah tersebut dengan hukum yang terkandung dalam nash
syar’iy tersebut. Yang kedua, yaitu alat suntik yang tidak dimaksudkan
sebagai ganti makanan dan minuman. Maka yang seperti ini tidak
membatalkan puasa. Karena, hal ini tidak terkandungdalam nash syar’iy,
baik secara lafazh maupun maknanya. Dan penggunaan suntikan semacam ini
bukanlah bentuk makan dan minum, juga secara makna tidak mengandung
makanan dan minuman. Dan hukum asalnya adalah puasa tersebut sah sampai
didapati dengan benar sesuatu yang merusak puasa berdasarkan dalil
syar’iy”. [12]
Ditanyakan
kepada asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah mengenai hukum suntikan. Maka
Beliau menjelaskan bahwa menurut Beliau hal itu boleh selama tidak
mengandung zat makanan. Sebaliknya, puasanya batal jika suntikan itu
mengandung zat makanan, dari manapun dan dengan cara apapun disuntikkan
ke dalam tubuh. [13]
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berpendapat bahwa hal itupun tidak membatalkan puasa. [Majmu’ Al Fatawa: XXV/ 234].
5. Menelan ludah.
Pernah ditanyakan kepada asy-Syaikh Bin Baz, Apa hukum menelan ludah bagi orang yang sedang berpuasa?”.
Beliau
menjawab, “Ludah tidak merusak puasa orang yang sedang berpuasa,
sehingga apabila ludah itu tertelan maka tidak mengapa. Dan apabila
dikeluarkan (diludahkan)pun tidak mengapa. Adapun dahak yang keluar dari
dada atau hidung, yakni berupa cairan kental yang keluar dari dada dan
terkadang keluar dari kepala, maka yang seperti ini hendaknya diludahkan
baik oleh laki-laki maupun perempuan dan tidak menelannya. Adapun ludah
yang biasa, maka tidak mengapa dan tidak merusak puasanya, hukum ini
berlaku bagi laki-laki maupun perempuan”. [14]
Berdasarkan
penjelasan di atas maka bagi orang yang sedang berpuasa, tidak mengapa
menelan ludahnya sendiri karena suatu keadaan. Begitu pula, tidak
mengapa jika ia tanpa sengaja menelan lalat, nyamuk atau serangga
lainnya, karena hal tersebut bukan kemauannya tanpa disengaja.
Sebagaimana telah dijelaskan mengenai orang yang makan atau minum dalam
keadaan lupa dan tidak sengaja.
6. Mencicipi makanan.
Begitu
pula, bagi kaum perempuan yang hendak mencicipi makanan ketika memasak
masakan maka tidak mengapa mencicipinya dan tidak membatalkan puasanya.
Ibnu Abbas radliyallahu anhuma mengatakan,
لَا بَأْسَ أَنْ يَتَطَعَّمَ اْلقِدْرَ أَوِ الشَّيْءَ
“Tidak
mengapa (orang yang berpuasa itu) merasakan makanan yang di periuk atau
sesuatu lainnya”. [HR. Al-Bukhoriy: IV/ 153 secara muallaq].
Di dalam riwayat lain di dalam al-Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata,
لَا بَأسَ أَن يَذُوق الخَلَّ أو الشَيءَ مَا لَـم يَدخُل حَلقَه وهو صائم
Orang
yang puasa boleh mencicipi cuka atau makanan lainnya selama tidak masuk
ke kerongkongannya. [Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah].
Begitu pula berkata Ibnu Abbas radliyallahu anhuma,
لَا بَأْسَ أَنْ يَتَطَاعَمَ الصَّائِمُ الْعَسَلَ وَ السَمْنَ وَ نَحْوَهُ يَمُجُّهُ
“Tidak
mengapa orang yang berpuasa itu merasakan madu, minyak samin (mentega)
dan semisalnya dan kemudian meludahkannya kembali”. [Atsar riwayat
al-Baihaqiy dengan sanad Hasan]. [15]
7. Mengambil darah untuk tujuan analisis atau donor darah, jika tidak dikhawatirkan melemahkan badan.
Bagi
yang menjalankan ibadah puasa terkadang harus mengalami suatu perkara
yang tidak dapat dihindarkannya. Misalnya, ia harus memeriksakan
darahnya untuk diperiksa oleh dokter karena suatu penyakit yang
dideritanya, maka hal itu mengharuskannya untuk diambil darahnya dengan
jarum suntik untuk mengambil darahnya tersebut. Atau, jika ada keluarga,
kerabat atau shahabatnya yang sakit karena keluarnya darah yang banyak
sekali, lalu orang tersebut butuh bantuan darah darinya. Apalagi
golongan darahnya dengan darah orang yang sakit tersebut sesuai, maka
tidak mengapa ia mengeluarkan darahnya dengan cara mendonorkannya kepada
orang tersebut.
Dibolehkan
mengambil darah untuk tujuan analisis penyakit atau kesehatan atau juga
untuk donor darah, jika tidak dikhawatirkan membuat badan lemah. Jika
pendonor khawatir lemas maka sebaiknya tidak donor di siang hari,
kecuali karena darurat.
Dari Tsabit al-Bunaniy, dari Anas bin Malik radliyallahu anhu, bahwa beliau ditanya,
أكنتم تَكرَهون الحِجَامة للصائم
“Apakah kalian dulu membenci bekam ketika puasa?”. Anas menjawab, “Tidak, kecuali jika menyebabkan lemah”. [HR. Al-Bukhoriy].
Hukum dalam masalah ini sama dengan hukum berbekam. Dan terdapat riwayat yang shahih bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berbekam.
Apalagi
donor darah atau mengambil darah dengan tujuan analisis penyakit atau
kesehatan dari orang yang berpuasa itu dalam bentuk mengeluarkan darah
bukan memasukkan darah. Karena batal puasa itu dari sebab yang masuk
bukan dari sebab yang keluar.
Berkata Ibnu Abbas radliyallahu anhuma tentang berbekam bagi orang yang sedang berpuasa,
اْلفِطْرُ مِمَّا دَخَلَ وَ لَيْسَ مِمَّا يَخْرُجُ
“Berbuka
(batal puasa) itu dari sebab apa yang masuk bukannya dari sebab apa
yang keluar”. [Atsar Riwayat Ibnu Abi Syaibah. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Sanadnya Shahih, rijal haditsnya tsiqot yakni para perawi
al-Bukhoriy dan Muslim, lihat Irwa’ al-Ghalil: IV/ 79].
Begitu
pula, tidaklah batal puasa seseorang yang meneteskan darah pada salah
satu anggota tubuhnya, menangis dengan tangisan yang mencucurkan air
mata, mengeluarkan kororan pada hidung atau telinga dan selainnya.
8. Berbekam.
Berbekam
diperbolehkan bagi seseorang yang sedang berpuasa, jika tidak
membuatnya payah dan lemah. Maka hukumnya sama dengan mengambil darah
untuk tujuan analisis dan donor darah.
Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata,
احْتَجَمَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَ هُوَ صَائِمٌ مُحْرِمٌ
“Rosulullah
Shallallahu alaihi wa sallam pernah berbekam dalam keadaan puasa lagi
berihram”. [Atsar Riwayat Ibnu Majah: 1682, Abu Dawud: 2372 dan
at-Turmudziy: 775. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy; Shahih]. [16]
Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu berkata,
أَرْخَصَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم فِى اْلحِجَامَةِ لِلصَّائِمِ
“Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam telah memberi rukhshoh (keringanan) bagi
orang yang berpuasa untuk berbekam”. [HR an-Nasa’iy di dalam al-Kubro,
Ibnu Khuzaimah dan ad-Daruquthniy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
Sanadnya shahih, lihat Irwa’ al-Ghalil: IV/ 72, 74].
Dari Syu’bah berkata, aku pernah mendengar Tsabit al-Bunaniy bertanya
kepada Anas bin Malik radliyallahu anhu, “Apakah kalian memakruhkan
hijamah (berbekam) bagi orang yang berpuasa, di masa Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam?”. Ia menjawab, “Tidak, kecuali dari sebab lemah”.
[Atsar ini diriwayatkan oleh al-Bukhoriy: 1940]. [17]
9. Berkumur dan menghirup air ketika wudlu.
Berkumur
dan istinsyaq itu adalah merupakan perbuatan yang diperintahkan bagi
muslim ketika berwudlu. Oleh sebab itu dalam keadaan berpuasapun ia
harus tetap melaksanakannya untuk kesempurnaan wudlunya.
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
telah memerintahkan umatnya untuk berkumur dan menghirup air ke dalam
hidung (istinsyaq) ketika wudlu, hanya saja beliau melarang untuk
menghirup air itu terlalu keras ketika sedang puasa.
عن أبي هريرة أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ فىِ أَنْفِهِ مَاءً ثُمَّ لِيَسْتَنْثِرْ
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam
bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian wudlu maka hendaklah ia
meletakkan air pada hidungnya (istinsyaq) kemudian keluarkanlah
(istintsar)”. [HR an-Nasa’iy: I/ 66, Abu Dawud: 140, Ahmad: II/ 242,
al-Bukhoriy: 162 dan Muslim: 237. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
Shahih]. [18]
Berkata asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam rahimahullah, “Wajibnya istinsyaq dan istintsar”. Berkata al-Imam Nawawiy rahimahullah, “Di dalam hadits ini terdapat dalil yang jelas bahwa istintsar itu bukanlah istinsyaq”. [19]
عن
لقيط بن صبرة قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَخْبِرْنىِ عَنِ
اْلوُضُوْءِ! قَالَ: أَسْبِغِ اْلوُضُوْءَ وَ بَالِغْ فىِ اْلاِسْتِنْشَاقِ
إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا
Dari
Luqaith bin Shabrah berkata, aku bertanya, “Wahai Rosulullah kabarkan
kepadaku tentang wudlu!”. Beliau menjawab, “Sempurnakan wudlu dan
bersungguh-sungguhlah di dalam istinsyaq kecuali jika kamu sedang
shaum”. [HR an-Nasa’iy: I/ 66, Abu Dawud: 142, Ibnu Majah: 407, Ibnu
Khuzaimah: 150, 168, al-Hakim: 537 dan Ahmad: IV/ 33. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Shahih]. [20]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,
“Terdapat
penjelasan tentang sunnah-sunnah wudlu berupa menyempurnakannya,
menyela-nyela di antara jari jemari kedua kaki dan bersungguh-sungguh di
dalam melakukan istinsyaq.
Bersungguh-sungguh
di dalam melakukan istinsyaq itu adalah sunnah kecuali di dalam keadaan
berpuasa. Karena dikhawatirkan masuknya air ke dalam rongga (mulut atau
hidung)nya.
Orang
yang sedang berpuasa berkumur-kumur tapi tidak menjalankannya atas
kedua bibirnya (dengan air) sebagaimana dilakukan oleh kaum awam.
Perbuatan ini adalah suatu kekeliruan yang tidak cukup hanya
berkumur-kumur, juga menyelisihi syariat dan membuat-buat bid’ah di
dalam agama, yang tidak pernah didatangkan oleh salah seorangpun
shahabat, tidak tabi’in dan juga tidak pernah diperintahkan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam”. [21]
Hadis ini menunjukkan bahwa berkumur dan istinsyaq juga disyariatkan ketika berpuasa.
10. Mencium dan bercumbu dengan istri.
Diperbolehkan
bagi suami untuk mencium atau mencumbui istrinya jika tidak khawatir
untuk melakukan jimak atau keluar mani. Namun jika dikhawatirkan
berlanjut kepada perbuatan jimak atau khawatir keluarnya mani maka
hendaklah ia menghindar dari mencium dan mencumbui istrinya.
Dari Aisyah radliyallahu anhaberkata,
كان النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُقَبِّلُ وَيُباشِر وَهُو صَائِمٌ و كَان أَملَكَكُم لِإِرْبَهِ
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
pernah mencium dan bercumbu dengan istrinya ketika puasa Dan beliau
adalah orang yang paling kuat menahan nafsunya. [HR. al-Bukhoriy: 1927,
Muslim: 1106, Abu Dawud: 2382 dan Ibnu Majah: 1684. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Shahih]. [22]
Dari Aisyah radliyallahu anha berkata,
إِنْ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم لَيُقَبِّلُ بَعْضَ أَزْوَاجِهِ وَ هُوَ صَائِمٌ ثُمَّ ضَحِكَتْ
“Sesungguhnya
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mencium sebahagian
istri-istrinya sedangkan Beliau dalam keadaan berpuasa”. Kemudian ia
tertawa. [Atsar riwayat al-Bukhoriy: 1928, Ahmad: VI/ 192, 241, 252,
280, ad-Darimiy: II/ 12, Ibnu Abi Syaibah dan al-Baihaqiy].
Aisyah radliyallahu anha berkata,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يُقَبِّلُنِى وَ هُوَ صَائِمٌ وَ أَنَا صَائِمَةٌ
“Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam menciumku sedangkan Beliau sedang berpuasa
dan akupun sedang berpuasa”. [Atsar riwayat Abu Dawud: 2384, Ibnu
Khuzaimah: 2004, Ahmad: VI/ 134, 162, 175-176, 179, 269-270, 270,
ath-thohawiy dan ath-Thoyalisiy. Berkata asy-Syaikh al-ALbaniy: Shahih].
[23]
Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, “Hadits ini adalah dalil akan
bolehnya orang yang sedang berpuasa untuk mencium istrinya di bulan
Ramadlan. Para ulama berbeda pendapat tentang perkara ini menjadi empat
pendapat. Dan pendapat yang paling tepat adalah yang membolehkan
perbuatan tersebut. Namun demikian, perlu diperhatikan keadaan suami
yang mencium istrinya tersebut, sebagai pertimbangan akan boleh tidaknya
hal itu dilakukan. Maksudnya, jika ia adalah seorang pemuda yang
dikhawatirkan akan berlanjut kepada jimak (hubungan intim) yang dapat
membatalkan puasanya, maka janganlah ia melakukannya”. [24]
Dari Umar bin al-Khoththob radliyallahu anhu, beliau mengatakan,
هَشَشتُ
يَوْمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا
فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ
Suatu hari nafsuku bergejolak maka aku-pun mencium (istriku) padahal aku puasa, kemudian aku mendatangi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Aku berkata, “Aku telah melakukan perbuatan yang berbahaya pada hari ini, aku mencium sedangkan aku puasa”. Maka Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتُ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ
“Apa pendapatmu kalau kamu berkumur dengan air padahal kamu puasa?”. Aku jawab, “Boleh”. Kemudian Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Lalu kenapa mencium bisa membatalkan puasa?”. [HR. Ahmad dan Abu Dawud: 2385. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [25]
Dalam hadis Umar di atas, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
meng-qiyaskan (analogi) antara bercumbu dengan berkumur. Keduanya
sama-sama rentan dengan pembatal puasa. Ketika berkumur, orang sangat
dekat dengan menelan air. Namun selama dia tidak menelan air maka
puasanya tidak batal. Sama halnya dengan bercumbu. Suami sangat dekat
dengan keluarnya mani. Namun selama tidak keluar mani maka tidak batal
puasanya.
Namun
sebaiknya para pemuda menghindarkan diri dari perbuatan menyumbu dan
mencium istrinya, sebagaimana di dalam riwayat berikut,
Dari
Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwa seseorang pernah bertanya kepada
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tentang menyumbu (istri) bagi orang
yang sedang berpuasa, maka Beliau memberi keringanan (rukhshoh)
kepadanya. Lalu datang pula kepadanya seseorang yang lain, lalu Beliau
melarangnya.
فَإِذَا الَّذِى رَخَّصَ لَهُ شَيْخٌ وَ الَّذِى نَهَاهُ شَابٌّ
Yang
diberi keringanan padanya adalah seorang yang sudah tua sedangkan yang
dilarangnya adalah seorang pemuda. [HR Abu Dawud: 2387 dan Ibnu Majah:
1688 dari Ibnu Abbas. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan Shahih]. [26]
11. Masuk waktu subuh dalam kondisi junub (yaitu belum mandi janabat).
Di
antara perkara yang pernah dilakukan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi
wa sallam adalah menjumpai pagi hari ketika fajar sudah terbit
sedangkan Beliau dalam keadaan junub lantara jimak dengan istrinya.
Setelah itu Beliau mandi untuk sholat subuh dan berpuasa.
Dari Aisyah dan Ummu Salamah radliyallahu anhuma,
أَنَّ النَّبِـي صلى الله عليه وسلم كَانَ يُدرِكُه الفَجرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِن أَهلِه ثُـمَّ يَغتَسِل وَيَصُوم
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
masuk waktu subuh dalam keadaan junub (belum mandi) karena berhubungan
suami istri, kemudian beliau mandi dan berpuasa. [HR. al-Bukhoriy: 1930
dan Muslim: 1109].
Dari
Aisyah dan Ummu Salamah radliyallahu anhuma dua orang istri Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam, bahwasanya keduanya pernah berkata,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يُصْبِحُ جُنُبًا فِى رَمَضَانَ مِنْ جِمَاعٍ غَيْرِ احْتِلَامٍ ثُمَّ يَصُوْمُ
“Adalah
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di waktu subuh pada bulan
Ramadlan dalam keadaan junub dari sebab jimak bukan karena mimpi
kemudian Beliau berpuasa”. [HR Abu Dawud: 2388 dan Ibnu Majah: 1704.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [27]
12. Menggunakan minyak wangi dan minyak rambut.
Bau harum merupakan satu hal yang disukai dalam Islam, lebih-lebih ketika hari jum’at, berdasarkan hadits yang berkaitan dengan jum’atan,
عن
أبي ذر رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: مَنِ
اغْتَسَلَ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ فَأَحْسَنَ غُسْلَهُ وَ تَطَهَّرَ فَأَحْسَنَ
طَهُوْرَهُ وَ لَبِسَ مِنْ أَحْسَنِ ثِيَابِهِ وَ مَسَّ مَا كَتَبَ اللهُ
لَهُ مِنْ طِيْبِ أَهْلِهِ ثُمَّ أَتَى اْلجُمُعَةَ وَ لَمْ يَلْغُ وَ لَمْ
يُفَرِّقْ بَيْنَ اثْنَيْنِ غُفِرَ لَهُ مِنْ بَيْنِهِ وَ بَيْنَ
اْلجُمُعَةِ اْلأُخْرَى
Dari
Abu Dzarr radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa mandi pada hari jum’at lalu ia membaguskan
mandinya, bersuci lalu ia membaguskan bersucinya, memakai dari pakaian
yang terbagusnya, menggunakan wewangian keluarganya yang telah
ditetapkan oleh Allah untuknya. Kemudian ia mendatangi jum’at, tidak
berbicara dan tidak pula memisahkan antara dua orang (yang sedang duduk)
maka diampuni baginya (dosa-dosanya) antaranya dan antara jum’at
berikutnya”. [HR Ibnu Majah: 1097. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
Hasan]. [28]
Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu mengatakan,
إِذَا كَانَ صَوْمُ أَحَدِكُمْ فَلْيُصْبِحْ دَهِينًا مُتَرَجِّلاً
“Jika
kalian berpuasa maka hendaknya masuk waktu subuh dalam keadaan
meminyaki dan menyisir rambutnya.” [Atsar riwayat al-Bukhoriy: IV/ 153
tanpa sanad].
Ibnu mas’ud juga mengatakan,
اصبحُوا مُدّهِنِين صِيامًا
“Ketika masuk pagi, gunakanlah minyak rambut pada saat puasa.” [HR. Ath-Thabraniy dan perawinya perawi shahih].
Demikian
beberapa hal yang diperbolehkan bagi muslim ketika sedang berpuasa.
Mudah-mudah penjelasan ini dapat membantu di dalam melaksanakan ibadah
tersebut. Karena di dalam Islam itu ada kemudahan dan keringanan.
Wallahu a’lam.
0 komentar
Posting Komentar