ads

Senin, 09 Maret 2015

SYARAT MENJADI MUBALIGH

SYARAT MENJADI MUBALIGH
 
Dai juga memiliki adab dan kode etik.
Sebutan dai, ustaz, guru, kiai, ulama identik dengan orang yang mengajarkan agama. Umat perlu menimba ilmu syariat dari orang yang disebut pewaris nabi ini.
Banyak literatur tentang bagaimana adab-adab penuntut ilmu. Salah satunya adalah menghormati para guru.

Lantas adakah adab-adab khusus untuk ustaz, dai, atau mubaligh? Mengingat di masyarakat kita, ustaz begitu dihormati, tak jarang dikultuskan.
Uniknya, saat ustaz, dai, atau mubaligh tersebut melakukan kekhilafan, sinisme kencang juga meluncur dari
para objek dakwah.

Imam besar Masjid Istiqlal, Jakarta KH Ali Musthafa Ya'qub, meminta masyarakat tidak melihat dai dari penampilannya. “Bukan berarti orang yang memakai jubah dan sorban adalah dai,” kata Kiai Ali.

Dai yang benar, menurut pimpinan Pesantren Darussunnnah Ciputat ini, harus memiliki kode etik. Bukan hanya sekadar pandai mengucapkan ayat-ayat Alquran dan hadis.

Seorang Dai harus mampu memiliki keilmuan Islam dan akhlak yang baik. “Seorang dai yang meminta imbalan contoh dai yang menyalahi kode etik,” ujar pakar hadis ini.

Kiai Ali mendasarkan pada Alquran surah Yasin ayat 21. “Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” Orang yang berdakwah meminta imbalan sama saja orang yang sesat dan tidak boleh diikuti.

Tetapi, justru sebagian besar orang senang mengikuti orang yang sesat. Menurut Kiai Ali, masyarakat harus pintar-pintar memilih dai berdasar isi dakwahnya, bukan kepopuleran. “Dai harus menguasai ilmu dari apa yang disampaikannya.”

Pengasuh Pondok Pesantren Al Hikam, KH Hasyim Muzadi, mengatakan, seorang dai memiliki tanggung jawab lebih besar dari mubaligh. Mubaligh berkewajiban hanya menyampaikan dakwah saja. Sedangkan, dai tidak hanya berkewajiban menyampaikan dakwah tetapi juga membimbing.

Dai harus memiliki adab yang baik sesuai dengan tauladan Rasulullah SAW. Mereka dituntut tidak hanya mampu membagi ilmu agama tetapi juga diterapkan bagi diri dan keluarganya.

Menurut mantan ketua umum PBNU ini, terdapat tiga syarat agar seseorang dapat dikatakan seorang dai. “Dai harus memiliki keikhlasan, keilmuan, dan akhlak sopan santun,” terang Kiai Hasyim.

Hasyim menjelaskan, ikhlasnya seorang dai dapat mengubah keadaan umat seiring waktu. “Syarat ini yang biasanya ditinggalkan oleh para dai karena lebih mementingkan frekuensi waktu berceramah,” ujarnya.

Kedua, ujar Kiai Hasyim, keilmuan yang sesuai dengan bidang yang didakwahkan. Menurutnya, jangan sampai seorang dai tidak menguasai ilmu untuk berdakwah. Terlebih masalah syariat.

Seorang Dai yang tidak memiliki ilmu yang sesuai dengan bidang yang didakwahkan akan berdampak serius untuk umat.
Umat bisa mendapatkan pemahaman yang keliru dan justru mengamalkan hal-hal yang dilarang Allah SWT. “Jangan sampai berdakwah sebuah ilmu tinggi tetapi hasilnya kurang jelas,” ujarnya.

Ketiga, seorang dai harus dapat menyampaikan dan membimbing dalam dakwah harus memiliki akhlak yang baik agar dapat diteladani.
Seorang dai harus memiliki ketiganya. Jika salah satu tidak ada maka seorang dai tersebut tidak dapat diteladani.

Seorang dai berkewajiban menyampaikan dakwah Islam sesuai dengan ilmu yang diketahuinya. Sedangkan, hak seorang dai, berhak memilih cara atau metode yang tepat untuk berdakwah.

Popularitas
Umat terkadang lebih percaya dai yang akrab di layar kaca dibanding dai yang memiliki kedalaman sebuah ilmu. Kepopuleran kini seolah menjadi ukuran berhasil tidaknya sebuah dakwah.

Kiai Hasyim berpesan agar seorang dai yang tampil karena popularitasnya harus diukur dengan benar. Popularitas media membuat seorang dai sering dielu-elukan. Dai akan semakin disukai umat ketika mereka populer di media.

Terkadang dai yang lebih kompeten tidak digunakan karena tidak dapat membantu dalam menaikkan rating.
Kiai Hasyim berpesan, dai yang populer harus benar-benar menjaga idealisme dan mempertahankan kualitas keagamannya.

Saat dia berdakwah harus dapat menyampaikan dengan interaktif. Bukan malah berdakwah dengan menceritakan sesuatu yang hambar.

Untuk menghindari dai yang terjebak dalam kepopuleran semata, baik industri media dan dai tidak hanya fokus pada bisnis saja. Tetapi juga menjaga kesucian Islam.

Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDI) KH Suhada Bahri menambahkan saat ini, mereka yang diidolakan sebagai ustaz adalah orang yang pintar melucu, punya retorika dan bahasa yang baik, dan sering tampil di televisi.

Menyikapi hal ini, Syuhada mengingatkan para dai jangan lupa diri. “Dalam dirinya harus tertanam iman yang mengantarkannya pada keikhlasan. Jangan sampai dia sombong bahwa dirinya saja yang paling baik dan patut diundang. Itu yang tidak boleh ada,” tuturnya.

Kendati demikian, ia bersyukur jika umat sudah mulai mendengarkan perkataan para mubaligh berbanding dengan para artis.

Secara khusus, Kiai Ali Mustofa berpesan kepada dai muda agar tidak mengumbar hawa nafsu. Mereka yang tidak memiliki sikap sabar tidak dapat disebut dai. “Mereka harus belajar agama kembali dan mengikuti tauladan Rasulullah SAW.”

0 komentar

Posting Komentar