Dalam Berdagang, Berapa % Keuntungan yang Boleh Kita Ambil?
Pertanyaan dalam Inbox akun facebook kami pada tanggal 2
Assalamualaikum
lillahita'ala saya mo b'tny
dalam b'dagang brp % k'untngn yg blh Qt ambil?
Jawaban:
‘Alaikumussalam wa Rahmatullahi wa Barakatuh
DUA PRINSIP DASAR PERNIAGAAN:
Sebelum
saya menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita mengetahui dua prinsip
dasar perniagaan dalam Islam. Keduanya memiliki pengaruh yang cukup
besar dalam menentukan jawaban pertanyaan diatas.
Prinsip Pertama: Asas Suka Sama Suka
Islam
yang kita cintai ini menghormati hak kepemilikan umatnya. Karenanya,
Islam mengharamkan kita untuk mengambil hak saudara kita tanpa
kerelaannya –walau sekedar bercanda-.
لَايَأخُذَنَّ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ صَاحِبِهِ لَعِبًاوَلَاجَادًّاوَإِذَاأَخَذَأَحَدُكُمْ عَصَاأَخِيهِ فَلْيَرْدُدْهَاعَلَيْهِ.
Janganlah
sekali-kali engkau bercanda dengan mengambil harta saudaramu, dan tidak
pula bersungguh-sungguh mengambilnya. Dan bila engkau terlanjur
mengambil tongkat saudaramu, hendaknya engkau segera mengembalikannya. (HR. Ahmad, 4/221)
Tidak
heran bila Islam menggariskan agar setiap perniagaan dilandasi dengan
asas suka sama suka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ج
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. (QS. An-Nisa’/4:29)
Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَايَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّابِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ.
Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan dasar kerelaan jiwanya. (HR. Ahmad, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wat Tarhib no. 839)
Dan pada hadits lain beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam lebih tegas lagi bersabda:
إِنَّمَاالْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ.
Sesungguhnya perniagaan itu hanyalah perniagaan yang didasari oleh rasa suka sama suka. (HR. Ibnu Majah dan dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Sunan Ibnu Majah, no. 2185 dan Irwaaul Ghalil, no. 1283)
Dalam riwayat lain Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَايَتَفَرَّقُ الْمُتَبَايِعَانِ عَنْ بَيْعٍ إِلَّاعَنْ تَرَاضٍ.
Janganlah dua orang yang berjual beli berpisah ketika mengadakan perniagaan kecuali atas dasar suka sama suka. (HR. Ibnu MaAhmad dan dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Musnad Imam Ahmad, 2/536 dan Irwaaul Ghalil, no. 1283)
Betapa
kacau kehidupan manusia bila mereka mereka bebas membeli harta sesama,
tanpa memperdulikan kerelaan pemiliknya. Pertikaian, tindak anarkis,
permusuhan bahkan pertumpahan darah tidak mungkin terelakkan.
Berdasarkan ini, para Ulama` menyatakan, bahwa tidak sah perniagaan orang yang dipaksa tanpa alasan yang dibenarkan.
Prinsip Kedua: Tidak Merugikan Orang Lain:
Umat
Islam adalah umat yang bersatu-padu, sehingga mereka merasa bahwa
penderitaan sesama muslim adalah bagian dari penderitaannya. Allah
berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara.” (QS. Al-Hujurat/49:10).
Dalam riwayat Muslim no 2586 Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya, “Perumpamaan
umat Islam dalam hal kecintaan, kasih sayang dan bahu membahu sesama
mereka seperti satu tubuh. Bila ada anggota tubuh yang menderita,
niscaya anggota tubuh lainnya turut merasakan susah tidur dan demam.
Imam
Nawawi mengatakan,, “Hadits ini dengan tegas dan jelas menunjukkan
betapa agung hak-hak sesama umat Islam. Hadits ini juga merupakan
anjuran kepada mereka agar saling menyayangi, berlemah lembut dan
membantu dalam hal-hal yang tidak termasuk perbuatan dosa atau hal-hal
yang dibenci.” (Syarah Muslim, oleh Imam An-Nawawi 16/139).
Dalam hadits lain Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya, “Janganlah
engkau saling hasad, saling menaikkan penawaran barang (padahal tidak
ingin membelinya), saling membenci, saling merencanakan kejelekan,
saling melangkahi pembelian sebagian lainnya. Jadilah hamba-hamba Allah
yang saling bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya.
Tidaklah ia menzhalimi saudaranya, tidak pula ia membiarkannya dianiaya
orang lain dan tidak layak baginya untuk menghina saudaranya. (HR. Bukhari, no. 5717 dan Muslim, no. 2558)
Dengan
dasar dalil-dalil ini dan juga lainnya, para Ulama` ahli fikih
mengharamkan setiap perniagaan yang dapat meresahkan atau merugikan
orang lain, terlebih-lebih masyarakat umum baik kerugian dalam urusan
agama atau urusan dunia.
Adakah Batas Maksimal Keuntungan Usaha?
Tidak
ditemukan satu dalilpun yang membatasi keuntungan yang boleh direngguk
oleh seorang pedagang dari bisnisnya. Bahkan sebaliknya, ditemukan
beberapa dalil yang menunjukkan bahwa pedagang bebas menentukan
prosentase keuntungannya. Berikut adalah sebagian dari dalil-dalil
tersebut:
Dalil Pertama:
عَنْ
عُرْوَةَأَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلّم، أَعْطَاهُ دِينَارًا
يَشْتَرِي لَهُ بِهِ شَاةً فَاشْتَرَى لَهُ بِهِ شَاتَيْنِ فَبَاعَ
إِحْدَاهُمَابِدِينَارٍوَجَاءَهُ بِدِينَارٍ وَشَاةٍ فَدَعَالَهُ
بِالْبَرَكَةِ فِي بَيْعِهِ وَكَانَ لَوْاشْتَرَى التُّرَابَ لَرَبِحَ
فِيهِ.
Dari
Urwah al Bariqi, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
memberinya satu dinar uang untuk membeli seekor kambing. Dengan uang
satu dinar tersebut, dia membeli dua ekor kambing dan kemudian menjual
kembali seekor kambing seekor satu dinar. Selanjutnya dia datang menemui
nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan membawa seekor kambing dan
uang satu dinar. (Melihat hal ini) Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam mendoakan keberkahan pada perniagaan sahabat Urwah, sehingga
seandainya ia membeli debu, niscaya ia mendapatkan laba darinya. (HR. Bukhari, no. 3443)
Pada
kisah ini, sahabat Urwah Radhiyallahu ‘Anhu dengan modal satu dinar, ia
mendapatkan untung satu dinar atau 100%. Pengambilan untung sebesar
100% ini mendapat restu dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan
bukan hanya merestui, bahkan beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berdo’a
agar perniagaan sahabat Urwah senantiasa diberkahi. Sehingga sejak itu,
beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam semakin lihai berniaga.
Dalil Kedua:
Berbagai
dalil yang telah dikemukakan pada prinsip pertama juga bisa dijadikan
dalil dalam masalah ini. Betapa tidak, pedagang telah secara sah
memiliki barang daganganny, maka tidak ada alasan untuk memaksanya agar
menjual barangnya dengan harga yang tidak ia sukai.
Dalil Ketiga:
Sahabat
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu meriwayatkan bahwa para sahabat mengadu kepada Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Wahai Rasulullah, telah terjadi kenaikan harga, hendaknya engkau membuat ketentuan harga jual!” Menanggapi permintaan ini, beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya: “sesungguhnya
Allah-lah yang menentukan pergerakan harga, Yang menyempitkan rezeki
dan Yang melapangkannya. Sedangkan aku berharap untuk menghadap kepada
Allah dan tidak seorangpun yang menuntutku dengan satu kezhaliman, baik
dalam urusan jiwa (darah) atau harta kekayaan.” (HR. Abu Dawud, no 3453, Tirmidzi, no. 1314 dan dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani dalam kitab Misykatul Mashabih, no. 2894).
Saudaraku!
Coba anda cermati alasan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menolak
untuk menentukan harga jual. Alasan beliau ini adalah isyarat nyata
bahwa membatasi harga jual atau mengekang kebebasan pedagang dalam
menjual dagangannya adalah bentuk kezhaliman. Dengan demikian, dapat
ditarik kesimpulan bahwa pedagang bebas dalam menentukan harga jual dan
besaran keuntungan yang ia inginkan.
Catatan Penting:
Walau
pada dasarnya pedagang bebas menentukan harga jual yang ia miliki, akan
tetapi pada saat yang sama ia tidak dibenarkan melanggar dua prinsip
niaga diatas. Karenanya para Ulama Fiqh menegaskan bahwa para pedagang
dilarang menempuh cara-cara yang tidak terpuji dalam meraup keuntungan.
Karena tindak sewenang-wenang pedagang dalam menentukan prosentase
keuntungan sering kali bertabrakan dengan kedua prinsip diatas. Terlebih
bila pedagang menggunakan trik-trik yang tidak terpuji. Diantara trik
pedagang serakah yang secara nyata menyelisihi kedua prinsip diatas
antara lain:
1. Menimbun Barang
Sebagian
pedagang menimbun barang demi ambisi mengeruk keuntungan besar. Ini
menyebabkan barang menjadi langka dipasaran. Akibatnya, masyarakat
terus-menerus menaikkan penawarannya guna mendapatkan barang kebutuhan
mereka. Sikap pedagang nakal ini tentu meresahkan masyarakat banyak. Dan
mendapatkan keuntungan dengan cara semacam ini diharamkan dalam Islam.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ
Barangsiapa yang menimbun maka ia telah berbuat dosa. (HR. Muslim, no. 1605)
Penimbunan
barang bertentangan dengfan kedua prinsip yang telah dipaparkan diatas,
sehingga tidak heran bila dilarang dan diharamkan. Masyarakat pasti
tidak rela dengan pergerakan harga yang tidak wajar ini dan juga
meresahkan mereka.
2. Penipuan
Karena
tidak ingin calon konsumennya memberikan penawaran yang rendah,
sebagian pedagang berulah dengan mengatakan kepada setiap calon
konsumennya, bahwa modal pembeliannya adalah sekian atau sebelumnya
telah ada calon konsumen yang menawar dengan harga tinggi, padahal
semuanya itu tidak benar. Trik pemasaran semacam ini tidak selaras
dengan syariat Islam.
Perhatikanlah sebuah hadits riwayat Bukhari no. 2240 dan Muslim, no. 108 yang artinya, Dari
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda, “Ada tiga golongan orang yang tidak akan diajak bicara
dan tidak akan dilihat oleh Allah pada hari qiamat yaitu (pertama) orang
yang bersumpah atas barang dagangannya, ‘Sungguh tadi adayang mau beli
dengan harga yang lebih mahal’, padahal ia dusta, dan (kedua) orang yang
setelah shalat Ashar bersumpah dengan sumpah palsu guna merampas harta
seorang muslim, dan (ketiga) orang yang enggan memberikan kelebihan air
(yang ada disumurnya), dan kelak Allah akan berfirman: Pada hari ini Aku
akan menghalangimu dari keutamaan/kemurahan-Ku, sebagaimana dahulu
engkau telah menghalangi kelebihan sesuatu hal yang bukan dihasilkan
oleh kedua tanganmu.”
Diantara
trik penipuan yang sering terjadi ialah penipuan jumlah barang atau
timbangan barang. Trik semacam ini jelas tidak terpuji alias haram.
Allah berfirman, yang artinya, “Kecelakaan
besar bagi orang-orang yang curang. Yaitu orang-orang yang apabila
menerima takaran dari orang lain mereka meminta dipenuhi. Dan apabila
mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (QS. Al-Muthaffifin/83:1-3).
3. Pemalsuan Barang
Tidak
asing lagi, bahwa diantara trik pedagang dalam mengeruk keuntungan
ialah dengan memanipulasi barang. Barang buruk dicampur dengan yang
baik, dan barang bekas dikatakan baru. Ulah seperti ini pasti akan
mengecewakan konsumen. Sehingga asas suka sama suka tidak terpenuhi pada
perniagaan yang disertai dengan pemalsuan semacam ini. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengecam pelaku manipulasi semacam ini.
Dari
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam pada suatu saat melewati seonggokan bahan makanan,
kemudian beliau memasukkan tangannya kedalam bahan makanan tersebut,
lalu jari jemari beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam merasakan sesuatu
yang basah, maka beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya, “Apa ini?
Wahai pemilik bahan makanan.” Ia menjawab, ‘Terkena hujan, Wahai
Rasulullah!’ Beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
‘Mengapa engkau tidak meletakkannya dibagian atas, agar dapat diketahui
oleh orang, barang siapa yang mengelabui, maka bukan dari golonganku.” (HR. Muslim, no. 102)
Saya
percaya anda adalah pedagang muslim yang berhati mulia, sehingga tidak
sudi untuk menggadaikan keuntungan akhirat anda dengan secuil keuntungan
materi.
Penutup
Saudaraku!
Mendapatkan keuntungan besar adalah cita-cita setiap pedagang, akan
tetapi tidak sepantasnya menghalalkan segala cara. Citai-cita ini mesti
diupayakan dengan tetap menjaga akhlaq mulia anda sebagai seorang
muslim. Tidak sepantasnya cita-cita ini menghanyutkan anda, sehingga
lalai untuk berbuat baik kepada saudara. Ingatlah selalu, sikap mulia
yang anda tunjukkan kepada saudara anda, tidak akan sia-sia. Semua
akhlak mulia, pasti mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Mudahkanlah
saudara anda, dengan menentukan harga jual yang sewajarnya dan tidak
memasang target keuntungan yang memberatkan konsumen. Percayalah,
kekayaan dan kebahagiaan hidup yang anda dambakan dengan keuntungan
melimpah dengan mudah dapat anda wujudkan. Semoga penjelasan singkat ini
bermanfaat, dan bila ada khilaf, maka itu datangnya dari kebodohan
saya.
Wallahu a’lam bishshawab.
0 komentar
Posting Komentar