Pertanyaan: Telah
disebar bahwa orang-orang Ahlissunnah tidak menikah melainkan sesama
mereka dari kalangan Ahlissunnah, apakah kalau menikah dengan
selain Ahlis-Sunnah hukumnya tidak boleh? seperti misalnya menikah
dengan wanita sufiyyah atau wanita ikhwanul muslimin… Mohon
keterangannya!.
Jawaban:
بسم الله الرحمن الرحيم.
Seorang pria
ingin menikah maka perkaranya dikembalikan kepadanya, karena setiap
orang memiliki kebebasan untuk memilih wanita yang dia cintai, Alloh
Ta’ala katakan:
فانكحوا ما طاب لكم من النساء
“Maka nikahilah oleh kalian siapa yang menyenangkan bagi kalian dari para wanita”.
Dalam masalah menikah, para pria berbeda-beda dalam segi pandang mereka, diantara mereka menjadikan pernikahan sebagai:
Sarana da’wah,
ya’ni menikahi wanita untuk dida’wahi atau istilah mereka “dijadikan
seperti dia dalam beragama”. Ini tujuan yang pertama.
Yang Kedua: Menjaga agama sehingga tidak terjatuh ke dalam perbuatan ma’siat seperti onani, zina dan liwath.
Dari dua
tujuan ini, terkadang seorang muslim tidak mau melihat apa
yang dibimbingkan oleh teladan mereka ya’ni Rosululloh Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam, beliau telah membimbingkan untuk melihat kepada yang
bagus agamanya sebagaimana datang haditsnya dari Abu Huroiroh yang
diriwayatkan oleh Asy-Syaikhon.
Adapun bagi
pria yang menikah dengan tujuan yang pertama maka ini sangat jarang
kita dapati bisa tercapai tujuannya, bahkan pria itu sendiri terkadang
terbawa oleh rayuan istrinya hingga terseret kepada kemauan istrinya,
sebagaimana ada seorang ‘alim menikahi putri pamannya yang bermanhaj
khowarij dengan tujuan supaya dijadikannya sebagai salafiyyah namun
setelah menikah ternyata malah pria tersebut terseret kepada pemikiran
khowarij sehingga memuji-muji orang yang membunuh Ali bin Abi Tholib
Rodhiyallohu ‘anhu.
Dan kenyataan
seperti ini kita dapati terjadi di zaman ini, sebagian orang
sudah mengenal dan mengakui tentang kebenaran da’wah Ahlissunnah wal
Jama’ah namun karena memiliki angan-angan untuk menikah dengan tujuan
yang pertama ini, diapun berani menikahi wanita dari kalangan ikhwanul
muflisin yang pada akhirnya diapun terseret kepada syubhat-syubhatnya,
baik dalam bentuk pengagungan terhadap hukum demokrasi dengan mengikuti
pemilu atau menjadi pembelanya.
Tidak hanya
ini, bahkan akal pikirannya bisa berbalik, menganggap bahwa
da’wah ikhwanil muflisin itu lebih hikmah, juga membiarkan
kemungkaran-kemungkaran bahkan terkadang ikut melakukannya seperti
ikhtilath, menggambar makhluk bernyawa, dusta, dengar musik-musikan dan
yang semisalnya, ini semua dianggap sebagai “da’wah yang hikmah”.
Berbeda halnya
kalau wanita yang ditujui itu berkeinginan untuk menjadi salafiyyah
dan dia siap untuk mengikuti bimbingan calon suaminya maka hal ini tentu
afdhol (lebih utama) sebagaimana keadaan Ummu Sulaim yang
mempersyaratkan kepada Abu Tholhah Rodhiyallohu ‘anhu.
Namun kalau keadaannya tidak jelas, maukah wanita itu mengikuti bimbingan ataukah tidak?.
Bila seperti
ini keadaannya maka lebih baik mencari yang jelas keadaannya,
karena urusan suami-istri berpengaruh besar terhadap kehidupan di dunia
dan di akhirat dan juga memberi pengaruh besar terhadap anak keturunan.
Adapun hukum
menikahi wanita sufiyyah maka perlu dilihat, apakah sufiyyahnya
masuk dalam kategori ghuluw ataukah masih dalam keadaan di atas
fithrohnya.
Kalau dia
masuk dalam kategori ghuluw ya’ni sampai menyembah kuburan atau
berdoa kepada roh-roh atau penghuni kubur maka tidak boleh menikahi
wanita seperti ini, karena dia adalah seorang musyrikah:
الزاني لا ينكح إلا زانية أو مشركة، والزانية لا ينكحها إلا زان أو مشرك، وحرم ذلك على المؤمنين
“Pria pezina
tidaklah dia menikah melainkan dengan wanita pezina atau
wanita musyrikah, dan wanita pezina tidaklah menikahinya melainkan
seorang pria pezina atau seorang pria musyrik, dan telah diharomkan
demikian itu bagi orang-orang yang beriman”.
Dan Alloh Ta’ala berkata:
ولا تنكحوا المشركات حتى يؤمن
“Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrikah sampai mereka beriman”.
Dengan ayat
ini sebagai dalil tentang tidak bolehnya menikahi wanita ahlil
kitab (Yahudi dan Nashrani) di zaman ini, karena mereka telah
jelas-jelas menyekutukan Alloh Ta’ala, baik dengan menyembah salib,
menyembah tiga dari tiga sesembahan atau menyembah ‘Uzair, ini semua
adalah kesyirikan, ditambah lagi dengan tidak berimannya mereka kepada
Nabi akhir zaman Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
Dari keterangan
ini, kita dapat menyimpulkan bahwa wanita mana saja dari kaum muslimah
boleh untuk dinikahi, namun kita diperintah untuk melihat kepada
yang bagus agamanya atau kepada yang memang siap untuk memperbagus
agamanya, karena jangankan kita, Nabi Luth dan Nuh ‘Alaihimas Salam saja
sudah tidak mampu menda’wahi dan mendidik istri keduanya, lalu
bagaimana dengan umat yang lemah ini?.
Dijawab oleh: Abu Ahmad Muhammad Al-Limboriy
0 komentar
Posting Komentar