ads

Sabtu, 14 Maret 2015

MENIKAH DENGAN CARA BERDUSTA ?

“ Tidaklah aku menginginkan kecuali perbaikan selama aku sanggup. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepadaNya aku bertawakal dan hanya kepadaNya-lah aku kembali ” QS : Huud : 88

Menikah dng cara Berdusta
 TANYA: Bagaimana jika seorang suami menikah lagi, tapi tanpa ijin istrinya, namun ia membohongi  statusnya. Jadi statusnya dia adalah nikah, namun karena mau nikah lagi maka ia buat status bujang. Bagaimana nikah dalam keadaan seperti itu?. Apakah sah nikah seperti itu?. Anak dan istri diterlantarkan, dan akhirnya sebagai istri menuntut (tidak terima). Kepada ustadz Abu ahmad, mohon diberikan nasehat dan pengarahannya.  Jazaakumullahukhoiro. (Pertanyaan dari Purwokerto).
JAWAB: Selama pernikahannya disertai wali maka pernikahan keduanya sah, yang tidak sah kalau tanpa wali, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
لا نكاح إلا بولي
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali”.
Dan perbuatan yang dilakukan oleh pria tersebut adalah ma’siat, karena perbuatannya dengan membuat status bujang padahal dia sudah menikah, ini  adalah kemungkaran namun bukanlah ini sebagai pembatal dari sahnya nikah yang dia lakukan, apa yang dia lakukan adalah penipuan, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
«من غشنا فليس منا»
“Barang siapa menipu kami maka dia bukan dari kami”
Dengan perbuatannya seperti ini sudah merupakan bentuk dari kezholiman, belum lagi dengan perbuatannya itu mengakibatkan anak-anak dan istrinya terlantarkan maka dia berada pada kezholiman di atas kezholiman, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
«ما من عبد يسترعيه الله رعية لم يحطها بنصحه إلا لم يجد رائحة الجنة».
“Tidaklah dari seorang hamba yang Alloh memberikannya sebagai penanggung jawab, lalu dia tidak meletakannya pada tempatnya melainkan dia tidak akan mencium wangi harumnya Jannah”.
Dan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam juga berkata:
«كفى بالمرء إثمًا أن يضيع من يعول»
“Cukuplah bagi seseorang berdosa ketika dia menterlantarkan orang yang dia tanggungi”.
Dalam suatu riwayat dengan lafazh:
«كفى بالمرء إثمًا أن يحبس عمن يملك قوته»
“Cukuplah bagi seseorang berdosa jika dia menyengsarakan terhadap orang yang dia miliki kebutuhannya”.
Dan kami nasehatkan kepada pria tersebut untuk bertaubat kepada Alloh dari perbuatannya, dan hendaknya dia memperbaiki keadaan dan urusan rumah tangganya, apa yang dia lakukan adalah aib yang memudhorotkannya, dia akan malu dan dipermalukan dengan sebab perbuatannya, istri dan anak-anaknya tidak akan menyukainya, begitu pula wanita yang dia nikahi bila mengetahui hakekatnya dia maka menimbulkan kebencian padanya.
Kita nasehatkan kepada pria tersebut untuk menempuh cara yang baik dan diridhoi ketika ingin menikah lagi, ketahuilah bahwa istri tidak punya hak untuk melarang dan mencegah, perkaranya ada pada pria tersebut, bila ingin menikah lagi maka lakukanlah dengan cara yang baik dan benar, dengan tanpa harus berbuat dosa dan penipuan.
Dan kami nasehatkan kepada pria tersebut untuk bertaubat kepada Alloh dari perbuatannya, dan hendaknya dia memperbaiki keadaan dan urusan rumah tangganya.
Pristiwa seperti ini teringatkan kami dengan kisah seorang pegawai negri, yang dia sangat membenci da’wah Ahlissunnah, dia diberi kemudahan menikahi wanita yang pekerjaannya juga sama sebagai pegawai negri, keduanya bertugas di kampung, yang mengherankan pegawai ini memiliki jadwal rutin ke kota, ternyata di kota dia menikahi wanita dengan tanpa sepengetahuan istrinya, sudah beberapa tahun, istrinya ke kota dan mendapatilah seorang anak yang nama bapak anak tersebut seperti nama suaminya dan asalnya juga dari kampungnya, setelah dicek ternyata itu adalah anak suaminya, dengan kejadian itu terjadilah keteganggan dalam rumah tangganya, istrinya merasa dikhianati dan ditipu, hingga tidak lama sang istri meninggal dunia karena sebab kecil hati (putus asa) yang mendalam, tidak lama kemudian suaminya juga menyusul meninggal dunia setelah namanya tercoreng.
Para pria terkadang menganggap perkara seperti ini remeh dan hanya bersifat kenakalan dewasa, padahal kalau mereka sadari ini berkelanjutan tanggung jawabnya hingga di akhirat nanti:
«كلكم راع ومسئول عن رعيته».
“Setiap kalian adalah penanggung jawab dan dimintai dari pertanggungan jawabnya”.
Dijawab oleh:
Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy ‘Afahullohu (15/5/1436).

0 komentar

Posting Komentar