“ Tidaklah aku menginginkan kecuali perbaikan selama aku sanggup. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepadaNya aku bertawakal dan hanya kepadaNya-lah aku kembali ” QS : Huud : 88
TANYA: Bagaimana
jika seorang suami menikah lagi, tapi tanpa ijin istrinya, namun ia
membohongi statusnya. Jadi statusnya dia adalah nikah, namun karena mau
nikah lagi maka ia buat status bujang. Bagaimana nikah dalam keadaan
seperti itu?. Apakah sah nikah seperti itu?. Anak dan istri
diterlantarkan, dan akhirnya sebagai istri menuntut (tidak
terima). Kepada ustadz Abu ahmad, mohon diberikan nasehat dan
pengarahannya. Jazaakumullahukhoiro. (Pertanyaan dari Purwokerto).
JAWAB: Selama
pernikahannya disertai wali maka pernikahan keduanya sah, yang tidak sah
kalau tanpa wali, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
لا نكاح إلا بولي
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali”.
Dan perbuatan yang dilakukan oleh pria
tersebut adalah ma’siat, karena perbuatannya dengan membuat status
bujang padahal dia sudah menikah, ini adalah kemungkaran namun bukanlah
ini sebagai pembatal dari sahnya nikah yang dia lakukan, apa yang dia
lakukan adalah penipuan, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
berkata:
«من غشنا فليس منا»
“Barang siapa menipu kami maka dia bukan dari kami”
Dengan perbuatannya seperti ini sudah
merupakan bentuk dari kezholiman, belum lagi dengan perbuatannya itu
mengakibatkan anak-anak dan istrinya terlantarkan maka dia berada pada
kezholiman di atas kezholiman, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
berkata:
«ما من عبد يسترعيه الله رعية لم يحطها بنصحه إلا لم يجد رائحة الجنة».
“Tidaklah
dari seorang hamba yang Alloh memberikannya sebagai penanggung jawab,
lalu dia tidak meletakannya pada tempatnya melainkan dia tidak akan
mencium wangi harumnya Jannah”.
Dan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam juga berkata:
«كفى بالمرء إثمًا أن يضيع من يعول»
“Cukuplah bagi seseorang berdosa ketika dia menterlantarkan orang yang dia tanggungi”.
Dalam suatu riwayat dengan lafazh:
Dalam suatu riwayat dengan lafazh:
«كفى بالمرء إثمًا أن يحبس عمن يملك قوته»
“Cukuplah bagi seseorang berdosa jika dia menyengsarakan terhadap orang yang dia miliki kebutuhannya”.
Dan kami nasehatkan kepada pria tersebut
untuk bertaubat kepada Alloh dari perbuatannya, dan hendaknya dia
memperbaiki keadaan dan urusan rumah tangganya, apa yang dia lakukan
adalah aib yang memudhorotkannya, dia akan malu dan dipermalukan dengan
sebab perbuatannya, istri dan anak-anaknya tidak akan menyukainya,
begitu pula wanita yang dia nikahi bila mengetahui hakekatnya dia maka
menimbulkan kebencian padanya.
Kita nasehatkan kepada pria tersebut
untuk menempuh cara yang baik dan diridhoi ketika ingin menikah lagi,
ketahuilah bahwa istri tidak punya hak untuk melarang dan mencegah,
perkaranya ada pada pria tersebut, bila ingin menikah lagi maka
lakukanlah dengan cara yang baik dan benar, dengan tanpa harus berbuat
dosa dan penipuan.
Dan kami nasehatkan kepada pria tersebut
untuk bertaubat kepada Alloh dari perbuatannya, dan hendaknya dia
memperbaiki keadaan dan urusan rumah tangganya.
Pristiwa seperti ini teringatkan kami
dengan kisah seorang pegawai negri, yang dia sangat membenci da’wah
Ahlissunnah, dia diberi kemudahan menikahi wanita yang pekerjaannya juga
sama sebagai pegawai negri, keduanya bertugas di kampung, yang
mengherankan pegawai ini memiliki jadwal rutin ke kota, ternyata di kota
dia menikahi wanita dengan tanpa sepengetahuan istrinya, sudah beberapa
tahun, istrinya ke kota dan mendapatilah seorang anak yang nama bapak
anak tersebut seperti nama suaminya dan asalnya juga dari kampungnya,
setelah dicek ternyata itu adalah anak suaminya, dengan kejadian itu
terjadilah keteganggan dalam rumah tangganya, istrinya merasa dikhianati
dan ditipu, hingga tidak lama sang istri meninggal dunia karena sebab
kecil hati (putus asa) yang mendalam, tidak lama kemudian suaminya juga
menyusul meninggal dunia setelah namanya tercoreng.
Para pria terkadang menganggap perkara
seperti ini remeh dan hanya bersifat kenakalan dewasa, padahal kalau
mereka sadari ini berkelanjutan tanggung jawabnya hingga di akhirat
nanti:
«كلكم راع ومسئول عن رعيته».
“Setiap kalian adalah penanggung jawab dan dimintai dari pertanggungan jawabnya”.
Dijawab oleh:
Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy ‘Afahullohu (15/5/1436).
Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy ‘Afahullohu (15/5/1436).
0 komentar
Posting Komentar