Nafsu Manusia
Dalam bahasa Indonesia, kata ‘nafsu’ bermakna positif dan negatif,
sama halnya dengan istilah al-nafs dalam Alquran. Dalam pengertian
negatif, kata nafsu diartikan sebagai dorongan hati yang kuat untuk
berbuat tidak baik. Kata nafsu diartikan pula dengan konotasi positif
ketika dipahami sebagai selera, gairah, atau keinginan terhadap sesuatu.
Dalam Alquran dijelaskan ada tiga bentuk nafsu manusia.
Pertama, nafsu ammarah bissu’.
Nafsu ini sangat berbahaya apabila melekat pada diri seseorang.
Sebab, nafsu ini selalu mengarahkan manusia pada perbuatan tidak baik,
kejahatan, dan perilaku yang bertentangan dengan agama.
Firman Allah SWT, “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan.” (QS 12: 53).
Orang yang dikuasai nafsu ammarah bissu’ akan diperbudak nafsunya.
Bahkan, ia menjadikannya sebagai ‘tuhan’ yang dipatuhi dan dituruti.
Orang seperti ini lebih sesat daripada binatang yang hanya mempunyai
nafsu, seperti firman Allah, “Terangkanlah kepadaku tentang orang
yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka, apakah kamu dapat
menjadi pemelihara atasnya?” (QS 25: 43).
Orang yang mengikuti nafsu ini tidak mampu memfungsikan indera dan akalnya untuk memahami kebenaran. Allah SWT berfirman, “Dan
sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahanam kebanyakan dari jin
dan manusia. Mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakannya untuk
memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka
mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka
lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS 7: 179).
Kedua, nafsu lawwamah.
Nafsu ini sudah mengenal mana yang baik dan buruk. Orang yang
memiliki nafsu ini belum sempurna berada dalam kebaikan. Nafsu ini
selalu mengarahkan pemiliknya menentang kejahatan, tetapi suatu saat,
karena lalai, ia terjerumus kepada kejahatan dan perbuatan dosa. Keadaan
ini membuat pelakunya menyesal terhadap dosa yang telah dilakukan,
seperti firman Allah, “Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).”(QS 75: 2).
Namun, setiap kali ia bertobat dari kesalahan yang telah dilakukan, ia kemudian lupa dan kembali melakukan dosa.
Ketiga, nafsu muthmainnah.
Ini merupakan nafsu yang baik dan membuat pemiliknya tenang berada
dalam ketaatan dan kebaikan. Nafsu ini telah mendapat rahmat dari Allah
sehingga pemiliknya berpendirian teguh untuk menjadikan Allah sebagai
Tuhan yang disembah.
Allah SWT menjelaskan, “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh
kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.
Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS 12: 53).
Dalam kehidupan sehari-hari, seorang Muslim perlu menjauhi nafsu
ammarah bissu’ dan nafsu lawwamah. Sebaliknya, ia perlu memiliki nafsu
muthmainnah. Melaluinya, ia akan memperoleh ketenangan hidup, selalu
menampilkan perbuatan baik yang membawa kemaslahatan bagi dirinya,
bangsa, dan negara.
***
Sumber Republika
0 komentar
Posting Komentar