ads

Selasa, 24 Maret 2015

MEMOTONG KUKU ATAU RAMBUT BAGI ORANG YANG HAID/JUNUB

HUKUM MEMOTONG KUKU ATAU RAMBUT BAGI ORANG YANG HAID/JUNUB

Image result for hukum potong kuku dan rambut semasa haid

Image result for hukum potong kuku dan rambut semasa haid

Asslm. Afwan da yg tnya k a ttng blh tdknya mmotong rmbt& ku2 saat haid. Kemudian a jwb boleh brdsr kitab fiqh wanita. Tp kmudian d bantah, cz ktnya d kitab fathul qorib g boleh?! Kr2 pndpt antm bgmn? Jzkllh.. k lbs a mnta argument logisnya.. syukrn (26 Des 2008, 21:45:43)
Penjelasan: [1]
Pendapat yang tidak memperbolehkan memotong kuku dan rambut pada saat haid bagi wanita atau juga umumnya bagi laki-laki dalam keadaan junub adalah pendapat yang muncul di antara ulama dalam madzhab Syafi’I muta’akhirin (generasi belakangan). Sementara dalam madzhab yang lain—setahu penulis—tidak menyinggung atau membahas masalah ini, kecuali dalam kitab Ghiza al-Albab dalam madzhab Hanbali, juga kitab Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang justru tidak setuju terhadap larangan tersebut.[2]
Dalam Madzab Syafi’i sendiri, jika dilacak, sama sekali tidak disinggung atau dibahas oleh Imam al-Syafi’i dalam Kitabnya al-Umm. Pendapat tersebut baru muncul atau bersumber dari pernyataan Imam al-Ghozali. Imam Al-Ghozali dalam kitab beliau Ihya’ ’ulum al-Din–sebagaimana dikutip dalam Mughni al-Muhtaj (1/72 al-Maktabah as-Syamilah) dan dalam Syarh al-Iqna li Matn Abi Syuja’ (1/60)–berpendapat:
قال فى الإحياء-أى إحياء علوم الدين للأمام الغزالى- لا ينبغى أن يحلق أو يقلم أو يستحد-يحلق عانته -أو يخرج دما ، أو يُبين -يقطع -من نفسه جزًا وهو جنب ، إذْ ترد سائر أجزائه فى الآخرة فيعود جنبا ، ويقال : إن كَل شعرة تطالبه بجنابتها .
Artinya : Dinyatakan dalam al-Ihya’ : Tidak semestinya memotong (rambut) atau menggunting kuku atau memotong ari-ari, atau mengeluarkan darah atau memotong sesuatu bagian tubuh dalam keadaan junub, mengingat seluruh anggota tubuh akan dikembalikan kepada tubuh seseorang. Sehingga (jika hal itu dilakukan) maka bagian yang terpotong tersebut kembali dalam keadaan junub. Dikatakan: setiap rambut dimintai pertanggungjawaban karena janabahnya.
Apakah semua ulama Syafi’iyah sepakat dengan pendapat al-Ghozali di atas?
Dari beberapa kitab dalam madzbab Syafi’i sendiri, diketahui bahwa para ulama madzhab Syafi’I tidak semuanya sepakat dengan pendapat Imam Ghozali tersebut, sebagaimana diisyaratkan dalam kitab I’anat Tholibin (1/96 Maktabah syamilah) dengan pernyataan:
وفي عود نحو الدم نظر، وكذا في غيره، لان العائد هو الاجزاء التي مات عليها.
„Tentang akan kembalinya (anggota tubuh) semisal darah, pendapat ini perlu diselidiki lagi. Demikian pula (bagian tubuh) yang lainnya. Karena (bagian tubuh) yang kembali (dibangkitkan bersama dengan pemilik bagian tubuh itu) adalah bagian-bagian tubuh yang pemilik tubuh itu mati bersamanya (ada pada saat kematian orang tersebut)”
Dalam kitab Syafi’i yang lain yaitu Niyatul Muhtaj Syarh al-Minhaj disebutkan:
( قَوْلُهُ : تُرَدُّ إلَيْهِ فِي الْآخِرَةِ ) هَذَا مَبْنِيٌّ عَلَى أَنَّ الرَّدَّ لَيْسَ خَاصًّا بِالْأَجْزَاءِ الْأَصْلِيَّةِ وَفِيهِ خِلَافٌ .
وَعِبَارَةُ الشَّيْخِ سَعْدِ الدِّينِ فِي الْعَقَائِدِ نَصُّهَا : رَدًّا عَلَى الْفَلَاسِفَةِ : وَذَلِكَ لِأَنَّ الْمَعَادَ إنَّمَا هُوَ الْأَجْزَاءُ الْأَصْلِيَّةُ الْبَاقِيَةُ مِنْ أَوَّلِ الْعُمُرِ إلَى آخِرِهِ ( قَوْلُهُ : فَيَعُودُ جُنُبًا ) ظَاهِرُ هَذَا الصَّنِيعِ أَنَّ الْأَجْزَاءَ الْمُنْفَصِلَةَ قَبْلَ الِاغْتِسَالِ لَا تَرْتَفِعُ جَنَابَتُهَا بِغَسْلِهَا سم عَلَى حَجّ ( قَوْلُهُ : وَيُقَالُ إنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ ..إلَخْ ) فَائِدَتُهُ التَّوْبِيخُ وَاللَّوْمُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِفَاعِلِ ذَلِكَ ،
Sikap kritis yang lebih jelas lagi terdapat dalam kitab dalam Madzab Syafi’i yang lain yaitu Hasyiah al-Bujairimi ’ala al-Khotib (2/335 al-Maktabah as-Syamilah). Penulis kitab tersebut mengkritisi pendapat Imam al-Ghozali di atas yang intinya menyatakan bahwa pendapat Imam al-Ghozali tersebut perlu dikaji lagi sebab bagian tubuh yang kembali adalah yang ada disaat kematian pemiliknya dan bagian badan asli yang pernah terpotong, bukan seluruh kuku dan rambut yang pernah dipotong selama hidupnya. Beliau membawakan perkataan Ibnu Hajar untuk menguatkan pendapatnya. Disebutkan dalam kitab tersebut:
قَوْلُهُ : ( إذْ يُرَدُّ إلَيْهِ سَائِرُ أَجْزَائِهِ ) فِيهِ نَظَرٌ ، لِأَنَّ الَّذِي يُرَدُّ إلَيْهِ مَا مَاتَ عَلَيْهِ لَا جَمِيعُ أَظْفَارِهِ الَّتِي قَلَّمَهَا فِي عُمُرِهِ ، وَلَا شَعْرِهِ كَذَلِكَ فَرَاجِعْهُ .
ا هـ .
ق ل .أَيْ لِأَنَّهَا لَوْ رُدَّتْ إلَيْهِ جَمِيعُهَا لَتَشَوَّهَتْ خِلْقَتُهُ مِنْ طُولِهَا .
وَعِبَارَةُ م د إذْ يُرَدُّ إلَيْهِ سَائِرُ أَجْزَائِهِ أَيْ الْأَصْلِيَّةُ فَقَطْ كَالْيَدِ الْمَقْطُوعَةِ بِخِلَافِ نَحْوِ الشَّعْرِ وَالظُّفْرِ ، فَإِنَّهُ يَعُودُ إلَيْهِ مُنْفَصِلًا عَنْ بَدَنِهِ لِتَبْكِيتِهِ أَيْ تَوْبِيخِهِ حَيْثُ أُمِرَ بِأَنْ لَا يُزِيلَهُ حَالَةَ الْجَنَابَةِ أَوْ نَحْوِهَا ا هـ .
وَقَالَ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ : إنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ يَكُونُ عَلَى مَا مَاتَ عَلَيْهِ ثُمَّ عِنْدَ دُخُولِ الْجَنَّةِ يَصِيرُونَ طِوَالًا .وَفِي الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ فِي صِفَةِ أَهْلِ الْجَنَّةِ : { إنَّهُمْ عَلَى صُورَةِ آدَمَ وَطُولُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ سِتُّونَ ذِرَاعًا فِي عَرْضِ سَبْعَةِ أَذْرُعٍ أَبْنَاءُ ثَلَاثٍ وَثَلَاثِينَ سَنَةً وَإِنَّهُمْ جُرْدٌ مُرْدٌ } .
Bagaimana Pendapat Mazhab yang lain?
Masalah tersebut pernah ditanyakan  kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan beliau jelaskan dalam Majmu’ Fatawa, intinya bahwa sepengetahuan beliau, tidak ada dalil syar’i yang menunjukkan makruhnya memotong rambut dan kuku bagi orang yang sedang junub, bahkan terdapat hadis shohih riwayat Bukhari-Muslim yang menegaskan bahwa (tubuh) seorang mukmin itu tidak najis. Apalagi dengan tambahan riwayat dari Shohih al-Hakim: ”baik dalam keaadan hidup ataupun mati”. Demikian pula adanya hadis tentang perintah bagi yang haid untuk menyisir rambut pada waktu mandi, padahal sisiran bisa menyebabkan rontoknya rambut. Berikut petikan pendapat Ibnu Taimiyah:
فَأَجَابَ : قَدْ ثَبَتَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ حَدِيثِ حُذَيْفَةَ وَمِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا { : أَنَّهُ لَمَّا ذَكَرَ لَهُ الْجُنُبَ قَالَ : إنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ}[3] . وَفِي صَحِيحِ الْحَاكِمِ : { حَيًّا وَلَا مَيِّتًا } . وَمَا أَعْلَمُ عَلَى كَرَاهِيَةِ إزَالَةِ شَعْرِ الْجُنُبِ وَظُفْرِهِ دَلِيلًا شَرْعِيًّا بَلْ قَدْ { قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلَّذِي أَسْلَمَ : أَلْقِ عَنْك شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ }[4] فَأَمَرَ الَّذِي أَسْلَمَ أَنْ يَغْتَسِلَ وَلَمْ يَأْمُرْهُ بِتَأْخِيرِ الِاخْتِتَانِ . وَإِزَالَةِ الشَّعْرِ عَنْ الِاغْتِسَالِ فَإِطْلَاقُ كَلَامِهِ يَقْتَضِي جَوَازَ الْأَمْرَيْنِ . وَكَذَلِكَ تُؤْمَرُ الْحَائِضُ بِالِامْتِشَاطِ فِي غُسْلِهَا مَعَ أَنَّ الِامْتِشَاطَ يَذْهَبُ بِبَعْضِ الشَّعْرِ . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ .
Bagaimana pendapat Ulama Kontemporer?
Salah satu yang bisa disebut di sini adalah Fatwa Ketua Lajnah Fatwa ulama al-Azhar, Syaikh ’Atiyah Shaqr yang menyebutkan bahwa pernyataan yang melarang memotong kuku dan rambut ketika dalam keadaan junub tidak berdasarkan dalil. Beliau membawakan penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di atas dan menambahkan: ” (dengan hadis tersebut) kita ketahui bahwa hal demikian tidaklah dimakruhkan. Pendapat yang menyatakan makruh adalah pendapat yang la ashla lahu (tidak ada dasarnya). ’Atho—yaitu ’Atho bin Abi robah ra, seorang tabi’in senior—menyatakan:
وَقَالَ عَطَاءٌ يَحْتَجِمُ الْجُنُبُ وَيُقَلِّمُ أَظْفَارَهُ ، وَيَحْلِقُ رَأْسَهُ ، وَإِنْ لَمْ يَتَوَضَّأْ .
Seorang yang junub (diperbolehkan) melakukan hijamah (pengobatan dengan cara mengeluarkan darah kotor) dan memotong kuku dan menggunting rambutnya, walaupun ia belum berwudhu” (Shohih al-Bukhari 1/496 al-Maktabah al-Syamilah bab al-Junubu yakhruju wayamsyi fis suq waghairihi)
Berdasarkan dalil ini maka tidak dimakruhkan untuk memotong rambut dan kuku ketika janabah. Adapun hukum menimbun potongan kuku dan rontokan rambut dari sisir ada dalam bahasan lain (tidak termasuk dalam bahasan ini)” (Fatwa Mei 1997 al-Maktabah as-Syamilah).
Dalam Fath al-Bari Syarah Shohih al-Bukhari oleh Ibnu Rajab 2/54 menjelaskan perkataan ‘Atho di atas dan menyebutkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan la ba’sa (tidak mengapa) untuk mengeluarkan darah (hijamah) atau memotong kuku dan rambut ketika junub.
Ibnu Rajab al-Hanbali menyatakan: “Tidak ada khilaf tentang bolehnya ini di antara ashabina (ulama mazhab Hanbali) kecuali Abu al-Farj al-Syirozi yang memakruhkan untuk mengambil kuku dan rambut dari orang yang junub, dan menyebutkan hadis yang marfu’ dengan Isnad yang dho’if jiddan riwayat al-Isma’ily dalam Musnad ‘Ali yang melarang seseorang memotong kukunya dan mengunting rambutnya kecuali dia dalam keadaan suci:
(( لا يقلمن أحد ظفراً ، ولا يقص شعراً ، إلا وَهوَ طاهر ، ومن اطلى وَهوَ جنب كانَ [ علته ] عليهِ )) ، وذكر كلاماً ، قيل لَهُ : لَم يا رسول الله ؟ قالَ : (( لأنه لا ينبغي أن يلقي الشعر إلا وَهوَ طاهر )) . وهذا منكر جداً ، بل الظاهر أنَّهُ موضوع . والله أعلم .
Ibnu Rajab menjelaskan bahwa hadis tersebut di atas adalah hadis yang Munkar jiddan bahkan secara eksplisit (nyata) menunjukkan kualitas hadisnya maudhu’ (palsu).
Demikian pula, berdasarkan penelitian penulis, hadis tersebut di atas tidak ditemukan dalam al-kutub at-tis’ah (9 Kitab Induk yaitu Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tirmidzi, Sunan An-Nasai, Sunan Ibnu Majah, Musnad Imam Ahmad, Muwatho Imam Malik, dan Sunan ad-Darimy), bahkan kitab-kitab hadis selain itu di lebih dari 200 kitab hadis dalam Maktabah Syamilah.
Kesimpulan bahasan di atas:
  1. Tidak ada dalil baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah yang shohih yang menjadi dasar hukum larangan bagi orang yang memotong kuku dan rambut bagi orang yang sedang junub khususnya wanita yang haid.
  2. Adapun munculnya Pendapat tersebut ternyata bersumber dari pendapat Imam al-Ghozali . Imam al-Ghozali sendiri tidak menyatakan larangan itu dengan kalimat yang tegas yang menunjukkan hukum haram. Beliau menggunakan lafadz: “la yanbaghi” yang artinya “tidak semestinya, tidak seharusnya atau tidak seyogyanya…”dst
  3. Sementara itu tidak semua ulama madzhab Syafi’I sepakat dengan Imam al-Ghozali dalam masalah tersebut (sebagaimana disebutkan tentang khilaf itu dalam beberapa kitab mazhab Syafi’I, antara lain Nihayat al-Muhtaj di atas).
  4. Adapun yang menjadi alasan Imam al-Ghozali adalah bahwa setiap bagian tubuh yang terpotong akan dikembalikan pada pemilik tubuh tersebut. Maka jika dipotong pada keadaan junub maka pada hari kiamat akan dikembalikan lagi dalam keadaan junub. Namun alasan atau argument ini tidaklah sepenuhnya tepat. Sebab, jumhur ulama menyatakan bahwa bagian tubuh yang dikembalikan adalah (a) bagian-bagian tubuh lengkap yang ada pada waktu kematian pemiliknya, dan (b) bagian-bagian tubuh yang asli (al-ajza’ al-ashliyah) yang pernah terpotong sewaktu pemiliknya masih hidup seperti kaki dan/atau  tangan yang terpotong). Bagian-bagian itulah yang akan dikembalikan secara sempurna pada hari kiamat. Adapun kuku atau rambut yang disunnahkan untuk dipotong tidak termasuk bagian yang dikembalikan tersebut.
  5. Secara logika, argumen al-Imam al-Ghozali tersebut sulit diterima. Pertanyaaannya : Apakah logis jika seluruh kuku dan rambut yang pernah tumbuh pada tubuh seseorang di dunia dikembalikan pada saat bangkitnya di hari kiamat? Seberapa panjang kuku dan rambut manusia jika seluruh rambut dan kuku mereka yang pernah tumbuh dan dipotong selama hidupnya akan dikembalikan lagi kepada tubuh pemiliknya?
  6. Apalagi, perlu kita ingat bahwa berdasarkan hadis Rasulullah riwayat Bukhari dan Muslim, tubuh orang mukmin yang junub tidaklah najis. (إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ)
  7. Janganlah mempersulit diri dengan sesuatu yang tidak jelas atau tidak kuat dasar hukumnya. Islam itu agama yang mudah. Ia diturunkan dengan sempurna sesuai dengan fitrah dan kemampuan manusia; Kita menjalankan Islam sesuai karakternya yang mudah dan tidak mempersulit diri. Rasulullah SAW bersabda:
 إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا ،

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agama melainkan ia akan dikalahkan. Oleh karena itu kerjakanlah dengan semestinya, atau mendekati semestinya dan bergembiralah (dengan pahala Allah) ..
(HR. Bukhari)
Wallahu A’lam bi as-Showab

[1] Penulis telah menjawab secara singkat lewat sms dan makalah ini merupakan pengembangannya. Harapannya agar pertanyaan dan jawaban tersebut tidak hanya bermanfaat bagi yang bertanya tapi bagi ikhwah dan akhwat semuanya. Amin.. Dengan berharap agar dengan sedikit ilmu yang dimiliki tapi menjadi amal jariyah karena yuntafa’u bihi.
[2] Dengan bantuan fasilitas penelusuran kitab di Maktabah Syamilah, penulis telah mencari materi bahasan ini dalam kitab-kitab madzhab Hanafi sekitar 30 kitab, madzhab Syafi’i sekitar 35 kitab,  madhab Maliki sekitar 20 kitab dan Madzhab Hanbali sekitar 30 kitab, ditambah kitab-kitab fatwa dan masail fiqhiyah dalam maktabah tersebut di lebih dari 160 kitab. Tentu dengan keterbatasan penulis dan alat, boleh jadi ada yang terlewatkan oleh penulis. Namun, Insya Allah kajian ini mencukupi untuk menjawab pertanyaan di atas. Dalam hal ini, penulis tidak berijtihad apalagi berfatwa tapi hanya sekedar mengutip dan mengumpulkan pendapat para ulama. Karena itulah batasan kemampuan penulis. Semoga bermanfaat.Amin..dan Wallahu A’lam bi as-Showab.
[3] حديث أبي هريرة: أخرجه البخاري (283، 285)، ومسلم (371)، والترمذي (121) وقال: حسن صحيح، وأبو داود (231)، والنسائي في “الكبرى” (1/ 122)، وفي “الصغرى” (1/ 145)، وابن ماجه (534). وحديث حذيفة: أخرجه مسلم (372)، وأبو داود (230)، والنسائي في “الكبرى” (1/ 122) وفي “الصغرى” (1/ 145) وابن ماجه (535).
[4] Menurut al-Mundziri hadis ini Dho’if. Lihat pula komentar al-Mubarakfuri dalam Tuhfat al-Ahwadzi  2/140 (Syamilah)

0 komentar

Posting Komentar